Kamis, 23 September 2010

Sekilas Tentang Chairil Anwar

Angkatan 45 - 1953 CHAIRIL ANWAR
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru . sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang betapapun masih mengingatkan kita kepada sastra melayu, meskipun sajak-sajak Amir itu memang indah dan bernilai tinggi. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, bahkan bernilai tinggi . bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan lagi bahasa buku melainkan melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuat bernilai sastra. Karena itulah ada orang yang berpendapat bahwa baru dengan sajak-sajak Chairil Anwarlah sebenarnya sastra Indonesia Lahir. Sedangkan karya-karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Takdir Alisjahbana dan lain-lainnya dianggap sebagai hasil sastra Melayu saja. Pendapat ini tidak bisa diterima, karena Chairil Anwar sesungguhnya merupakan buah daripada pohon yang ditanam dan dipupuk oleh para pendahulunya.
Chairil anwar dilahirkan dimedan tanggal 22 Juli 1922. Sekolah hanya sampai MULO (SMP) dan itupun tidak tamat. Kemudian ia pindah kejakarta. Tapi ia seorang yang banyak sekali membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat-berisi.
Ia mulai muncul didunia kesenian pada jaman jepang. Bukan karena sajak-sajaknya mendapat hadiah atau sambutan baik dari kantor pusat kebudayaan, ataupun karena ia berlomba-lomba mencipta sesuai dengan pesanan jepang, tetapi terutama karena sifatnya yang eksentrik dan tidak mau dikuasai kantor pusat kebudayaan. Malah ia sering mengejek kawan-kawannya seniman yang berkumpul sekitar kantor pusat kebudayaan. Dari esai-esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan secara demonstrative pula ia menentang sensor jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi inceran kenpetai (polisi rahasia jepang yang terkenal galak dan kejam).
Sajaknya yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualistis ialah yang berjudul ‘Aku’ (ditempat lain diberinya berjudul ‘semangat’ ). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang”, sebutan mana segera menjadi terkenal.

A K U
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Darikumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bias kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


Tetapi di samping seorang individualis, Chairilpun seorang yang mencintai tanahair dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya Nampak dalam sajak-sajak ‘Diponegoro’, ‘krawang-Bekasi’, ‘Persetujuan Dengan Bung Karno’, Siap Sedia’, ‘Cerita Buat Dien Tamaela’ dan lain-lain



DIPONEGORO


Di masa pembangunan ini
Tuhan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang dikanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati.

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.

Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api.
Punah diatas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju
Serbu
Serang
Terjang

(ikhtisar sejarah sastra Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar